Kamis, 17 Juli 2014

MLEROK ORA URUSAN


nek teko metu sisih lor
mlakune rikat menggok mengidul
koyo2 dioyak setan
jebul mung latihan

mbuh ra weruh aku ra kenal
manggon ra suwe mengkone wani
klambine ijo topine blorok
nek weruh mung do mlerok

nek awan podo dor2 an
mlebu grumbul wektune wengi
sing dipanggul koyo2 kloso
terkadang malah ulo

metune soko wit kuwi
rasane legi ambune wangi
ditandur suwe luwih nem sasi
nek diwilang jare trek2 an 

wit kuwi  duweke sopo
digowo mumpet terus mengetan
menggok ngidul metu Muntilan
njur nggo jajan tape ketan
 
sing mbiyen kuru saiki wis jendral
mlakune jejeg rodo menteleng
mampir toko kulon Bunderan
mung mlerok ora urusan

salam buat taruna
mas tete - salaman, 18 Juli 2014







Sabtu, 25 Mei 2013


Biodata Penulis :

Ir. Krisno Pudjonggo IAI, kelahiran Salaman 23 mei 1954 disebut oleh teman-teman dekat dengan panggilan mas Tete yang tumbuh menjadi remaja dikota Purworejo sampai lulus dari SMP Negeri 2 tahun 1969. Selanjutnya menyelesaikan pendidikan teknik bangunan di STM Negeri Tuguran Magelang pada tahun 1972. Putra ke-4 dari 9 orang anak pasangan almarhum Bp. Karoen Sastrosoemarto & Ibu Leginem, seorang pensiunan mantri tani di Kecamatan Salaman yang berasal dari daerah Bagelen-Purworejo semenjak pertengahan tahun 1973 merantau ke Jakarta.

Pengalaman kerja di pemerintahan hanya dijalani selama 6 bulan yaitu sebagai staf administrasi dilingkungan Dinas PUJT seksi Magelang-Kesinderan Salaman-Margoyoso, karena semangat & keinginannya untuk menjadi Arsitek, akhirnya pada bulan Juli 1973 mengundurkan diri dari pekerjaannya dan memutuskan pindah ke Jakarta untuk kuliah sambil bekerja. Pada tahun 1977 terlaksanalah keinginan kuliah pada Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur di Universitas Jakarta dan dapat menyelesaikan studinya lulus pada tahun 1985. 

Bapak dari 4 orang anak dan suami dari seorang istri bernama Dyah Martha Budiningsih kelahiran Jakarta 30 Maret 1963 seorang sarjana komputer & karyawan Bank Mandiri pusat di Jakarta. Merintis karir sebagai pengusaha swasta dibidang bangunan dengan mendirikan PT. Bhumi Loh Jinawi diantaranya mengelola perumahan rumah murah sederhana Bhumi Menoreh di Salaman pada th 1996.

Menjadikan lengkapnya pengalaman karena seringnya berhubungan dengan birokrasi ditingkat pemerintahan yang berkaitan dengan bisnis real estate maupun sebagai konsultan. Pergaulan dalam berorganisasi melalui aktifitas kampus dan terakhir melalui Forum Komunikasi Alumni-GMNI Jakarta sering membawa pertemanan & pertemuan dengan tokoh nasional dari banyak unsur terutama dikalangan tokoh reformasi.

Penulis senantiasa berkeinginan menggali gagasan orisinil yang sedapat mungkin mempunyai manfaat buat masa depan anak cucu, berbasis alam & mengandung misi budaya. Sebagai seorang arsitek, penulis menguasai teori tata wilayah & lingkungan. Sebagai ahli merancang bangunan & site plan kota juga aktif dalam melaksanakan program pemberdayaan yang dilakukan bersama teman-teman Pakuwojo dari Purworejo, khususnya mengenai petani kecil atau usaha kecil mikro dengan memanfaatkan tanah marjinal untuk budidaya singkong unggul.

Melalui kelompok partisipasi masyarakat Salaman, didirikanlah LSM bernama " Masyarakat Peduli Salaman"-(MPS ) menyikapi perkembangan kota Salaman yang tak dikendalikan dengan baik oleh Pemkab Magelang. Pada th 2004 mengetengahkan gagasan pembangunan kembali monumen peringatan heroik '45 yaitu TUGU BUNDERAN yang pernah dihilangkan oleh aparat orba karena terdapatnya ukiran kata2 mutiara Bung Karno. Karya tersebut menjadi contoh gagasan positif dalam rangka pembenahan kawasan perkotaan di simpang tiga Magelang-Borobudur-Purworejo sebagai pengganti atas hilangnya identitas kota Salaman yaitu bangunan ex Kawedanan yang telah berubah menjadi perkiosan umum.

Rangkaian pengalaman diatas menginspirasi melakukan pengamatan perkembangan disekitar Borobudur mengapa sebuah pusat kawasan wisata internasional dan telah menjadi icon dunia tidak mampu menyentuh kehidupan masyarakat sekeliling. Kegiatan pariwisata yang mendatangkan turis sekitar 3 juta orang/th hanya terasa didalam pagar candi dan tidak mendatangkan dollar bagi daerah Magelang. Jika terbanding dengan Jogja maka pedagang Borobudur hanya sekedar mendapat limpahan uang receh dari turis yang membeli makanan kecil atau sekedar minum teh botol. Dampak hiruk pikuk didalam pagar tidak tampak berpengaruh terhadap kesibukan perdagangan disekitar pasar atau jalan2 utama  mencerminkan tidak terkonsepnya kawasan Borobudur sebagai tujuan wisata.

Dijaman keterbukaan dan perkembangan komunikasi yang tak terbatas blog ini dibuat sebagai sumbangan pemikiran untuk memancing sebuah kerja besar bagaimana partisipasi publik dapat mengambil peran untuk bersikap tanpa bermaksud mencela atau menggurui .